Dari Segala Kemungkinan

Kemungkinan adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau keadaan yang memungkinkan sesuatu terjadi.

Pengertian diatas membuat kita menyadari bahwa ada hal yang akan terjadi di luar kendali kita, entah mau bagaimana pun kita berusaha dan berharap. Kemungkinan akan selalu berawal dari presentase kecil. Perlu diingat segala sesuatu yang besar, berawal dari kecil terlebih dahulu. Pepatah yang mengatakan tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini benar adanya, entah untuk hal positif atau negatif sekalipun.

Tapi kenapa dari segala kemungkinan yang ada di dunia ini, semesta mempertemukan aku dengan seseorang yang tidak mudah untuk aku hadapi. Apakah semesta sebercanda ini mempertemukan dua insan manusia yang tidak berdaya? Ketidakberdayaan dari saling melepaskan dan memiliki. Sekiranya memang harus bertahan lalu sampai kapan? Jikalau salah satu harus tersakiti kenapa tidak engkau segerakan saja?

Tapi bukankan tetap akan ada kemungkinan bersama? Ya kemungkinan itu pasti ada. Bukannya ingin berharap pada kemungkinan sekecil apapun tetapi alangkah lebih baik bila pelan-pelan belajar mengikhlaskan. Terdengar pesimis memang, tetapi memang begitulah hidup mengajarkan ku tentang harapan. Tentang bagaimana hasil dari sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan.

Dari segala kemungkinan kenapa dia tidak pernah benar-benar bisa “melihatku”? Sederhana saja jawabannya karena aku bukan yang dia mau. Ketika aku merasa cukup tentang dia tetapi tidak berlaku kebalikannya, yang harus aku pahami adalah setiap orang punya mimpi yang ingin dicapai. Seperti aku mendambakannya, dia pun pasti mendambakan seseorang di luar sana.

Tetapi mengikhlaskan tidak pernah semudah itu. Itulah kenapa aku bilang belajar. Butuh banyak faktor, bisa jadi dengan orang baru atau dengan kesibukan. Mana yang aku pilih? Keduanya. Membuka kesempatan untuk orang lain dan juga menambah kesibukan diri sendiri agar tidak selalu bergantung kepadanya. Karena kenapa tidak? Perempuan mandiri harus mampu berdiri di kakinya sendiri.

Apakah aku pernah marah kenapa kemungkinan itu bukan aku? Tentu saja. Aku perempuan normal yang masih bisa emosional terhadap sesuatu. Kecewa, sedih, marah bahkan iri, tetapi mau sampai kapan? Kalau semua itu aku pendam, lambat laun hanya akan jadi penyakit hati. Jadi ya memang harus “nrimo” kalau orang jawa bilang.

Lalu apakah bersikap nelangsa seperti ini akan merubah takdir? Sekali lagi di balik semua yang aku lakukan, aku tidak pernah mau menaruh harapanku di atasnya. Biarlah aku terlihat menyedihkan di mata orang lain. Biarkan waktu yang menjawab semua ini. Biarkan semesta bekerja mengakhiri ini seperti ia pula yang telah memulainya.

Leave a comment